LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM FORMAL DAN NON FORMAL
Disusun dan Diajukan Guna Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah: Kapita Selekta Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Rahman Afandi, S.Ag, M. Si.
Oleh:
Syafi’atun
Nur Khasanah (1423305262)
JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PURWOKERTO
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam rangka
menunjang pelaksanaan proses pembelajaran mata kuliah Kapita selekta pendidikan
islam, kami mengadakan observasi di SD N 1 Kracak dan Pondok Pesantren Al-Huda
Pulasari tentang bagaiman problematika yang dihadapi dalam pendidikan islam di
SD N 1 Kracak dan Pondok Pesantren Al-Huda Pulasari . Maka kami melakukan
wawancara yang dilaksanakan pada hari senin 3 april 2017 dan tanggal 22 april
2017.
Observasi ini dengan
tujuan untuk meningkatkan pemahaman saya tentang bagaimana problematika yang dihadapi dalam
pendidikan islam dalam lembaga formal dan non formal. Sehingga saya mampu
mempersiapakan segala sesuatu dalam mengahadapi problematika-problematika di
masa yang akan datang. Sebagai pengetahuan dalam mengetahui perkembangan
pendidikan islam dan problematika yang dialami di daerah tempat saya tinggal.
BAB II
TEORI
A.
Pengertian Pendidika islam
Salah satu
pandangan modern dari seorang ilmuwan muslim, pakar pendidikan islam DR.
Muhammad S.A. Ibrahimy (Bangladesh) mengungkapkan pengertian pendidikan islam
yang berjangkauan luas, sebagai berikut.
“Islamic
education in true sense of the term, is a system of education which enables a
man to lead his life according to the Islamic ideology, so that he may easily
mould his life in accordance with tenets of islam. And thus peace and
prosperity may prevail in his own life as well as in the world. These Islamic
scheme of education is, of necessity an all embracing system, for islam
enchomphasses the entire gamut of moslem’s life. It can justly be said that all
branches of learning wich are not Islamic are included in the Islamic
education. The scope of Islamic education has been changing at different times.
In view of the demands of the age and the development of science and
technology, its scope has also widened.”[1]
Sedangkan dalam pandangan Muhammad
Athiyah al Abrasyi, pendidikan islam adalah sebuah proses untuk mempersiapkan
manusia supaya hidup dengan sempurna dan berbahagia, mencintai tanah air,tegap
jasmaninya, sempurna akhlaknya, teratur fikirannya, mahir dalam pekerjaannya,
manis tutur katanya baik lisan atau tulisan. Menurut Marimba, pendidikan islam
adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama islam menuju
kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran islam.
B.
Kondisi Pendidikan Islam di Indonesia
Kondisi
pendidikan islam di indonesia, sebenarnya menghadapi nasib yang sama, dan
secara khusus pendidikan islam menghadapi berbagai persoalan dan kesenjangan
dalam berbagai aspek yang lebih kompleks, yaitu berupa persoalan dikotomi
pendidikan, kurikulum, tujuan dan sumber daya, serta manajemen pendidikan
islam. Sistem pendidikan islam haruslah senantiasa mengorientasi diri untuk
menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul dalam masyarakat kita sebagai
konsekuensi logis dan perubahan.
Pada era
reformasi ini, pendidikan nasional ditekankan untuk membangun manusia dan
masyarakat madani indonesia yang mempunyai identitas, berdasarkan budaya
indonesia. Untuk mencapai cita-cita tersebut, pendidikan hendaknya didasarkan
pada paradigma-paradigma baru yang bertujuan untuk membentuk suatu “masyarakat
madani” yang demokratis. Pendidikan harus bertolak dari pengembangan manusia
indonesia yang berbudaya dan berperadaban, merdeka, bertakwa, bermoral, dan
berakhlak, berpengetahuan dan berketrampilan, inovatif dan kompetitif, sehingga
dapat berkarya secara profesional dalam kehidupan global menuju masyarakat
madani indonesia.
Ada beberapa indikator
sebagai usaha pembaruan pendidikan islam yaitu, setting pendidikan, lingkungan
pendidikan, karakteristik pembaruan, dan kurikulum yang disajikan sesuai dengan
karakteristik tujuan. Perlu diketahui bahwa suatu usaha pembaruan pendidikan
dapat terarah dengan baik apabila didasarkan pada kerangka dasar filsafat dan
teori pendidikan yang mantap. Filsafat pendidikan hanya dapat dikembangkan
berdasarkan asumsi-asumsi dasar yang kokoh dan jelas tentang manusia, baik
sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, hubunganya dengan
lingkungan, alam semesta, akhiratnya, dan hubungannya dengan maha pencipta
sedangkan teori pendidikan dapat dikembangkan atas dasar pertemuan antara
pendekatan filosofis dan pendekatan empiris.
C.
Misi dan Visi Pendidikan Islam
Menurut
beberapa pengertian, misi adalah jalan pilihan (the chosen track) suatu
organisasi untuk menyediakan produk/jasa bagi customernya. Sedangkan
visi merupakan suatu pikiran yang melampaui realitas sekarang, sesuatu yang
kita ciptakan yang belum pernah ada sebelumnya, suatu keadaan yang akan kita
wujudkan yang belum pernah kita alami sebelumnya. Misi dan visi pendidikan
islam itu sendiri yaitu, membentuk “insan kamil” yang berfungsi mewujudkan rahmatan
lil ‘alamin.
D.
Strategi Pendidikan Islam
Pembangunan
pendidikan dan pendidikan islam di Indonesia sekurang-kurangnya menggunakan
empat strategi dasar yakni pertama, pemerataan kesempatan untuk memperoleh
pendidikan. Kedua, relevansi pendidikan, ketiga, peningkatan kualitas
pendidikan, dan keempat, efisiensi pendidikan. Secara umum strategi itu dapat
dibagi menjadi dua dimensi yaitu peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan.
Pembangunan peningkatan mutu diharapkan dapat meningkatkan efisiensi,
efektivitas dan produktivitas pendidikan, sedangkan dimensi pemerataan
pendidikan diharapkan dapat memberikan kesempatan yang sama dalam memperoleh
pendidikan bagi semua usia sekolah.
E.
Reorientasi Tujuan Pendidikan Islam
Beberapa
pengamat pendidikan islam, menyatakan bahwa rumusan tujuan pendidikan islam
;ebih pada upaya kebahagiaan di dunia dan di akhirat, menghamba diri kepada
Allah, memperkuat keislaman, melayani kepentingan masyarakat islam, dan akhlak
mulia. Tampaknya dalam merumuskan tujuan pendidikan, “umat islam atau sebagian
para ahli pendidikan islam mengalami kesulitan dalam membedakan syariat islam
sebagai ilmu yang disusun ulama sebagai tafsir atas wahyu serta syariat islam
sebagai ajaran tuhan dalam wahyu yang termaktub dalam al-Qur’an. Islam lalu
mengalami penyempitan menjadi hNY ilmu syariat dan ilmu-ilmu islam lainnya.
Teuku
Amiruddin, menyatakan pendidikan islam bertujuan untuk: (a) mewujudkan
cendekiawan muslim yang bertakwa dan berakhlak mulia, cerdas, cakap, terampil,
mandiri dan bertanggung jawab terhadap kemslahatan umat, (b) mempersiapkan
peserta didik untuk menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik
atau professional untuk menyelesaikan tugas-tugas dan kewajibannya sehari-hari,
yaitu dengan jalan menerapkan dan mengembangkan ilmu dan ketrampilan yang ada
pada dirinya masing-masing di lingkungannya, (c) mengembangkan dan menyebarkan
ilmu pengetahuan dan teknologi di lingkungan kerjanya sehari-hari sehingga menemukan
teknologi baru yang lebih bermanfaat bagi manusia. Walaupun demikian, tentulah
rumusan inipun masih dirasakan bersifat umum, sehingga perlu dijabarkan lagi
secara rinci sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masing-masing lembaga
pendidikan islam, sekolah-sekolah islam, dan daerah.
Rumusan tujuan
pendidikan islam diharapkan lebih bersifat problematis, strategis, antisipatif
menyentuh aspek aplikasi serta dapat menyentuh kebutuhan masyarakat atau
pengguna lulusan. Artinya, pendidikan islam harus berupaya membangun manusia
dan masyarakat secara utuh dan menyeluruh (insan kamil) dalam semua aspek
kehidupan yang berbudaya dan berperadaban yang tercemin dalam kehidupan manusia
bertakwa dan bermain, berdemokrasidan merdeka, berpengetahuan, berketrampilan,
bermoral anggun dan berakhlakul karimah,berkemampuan inovasi dan mengakses
perubahan serta berkemampuan kompetitif dan kooperatif dalam era global dan
berpikir lokal dalam rangka memperoleh kesejahteraan, kebahagian dan keselamatan
duniawiyah dan ukhrawiyah.
F.
Reorientasi Kurikulum Pendidikan Islam
Materi
pendidikan dan pendidikan islam tergambar dalam kurikulum yang disusun untuk
mewujudkan tujuan pendidikannya. Desain materi pendidikan harus memperhatikan
tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaianya dengan lingkungan,
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, seni, serta sesuai dengan
jenjang masig-masing satuan pendidikan. Kurikulum pada dasarnya berfungsi untuk
menyediakan program pendidikan yang relevan bagi pencapaian sasaran akhir
pendidikan. Untuk mencapai itu kurikulum berfungsi menyiapkan dan membentuk
peserta didik agar dapat menjadi manusia yang memiliki kompetensi tertentu
sesuai dengan orientasi kurikulum dan sasaran akhir program pendidikan. Program
kurikulum harus diorientasikan dan disesuaikan dengan kebutuhan masa kini dan
masa yang akan datang, apabila kurikulum tidak sesuai dengan kebutuhan masa
kini dan masa yang akan datang tentu akan memiliki kontribusi yang signifikan
terhadap calon-calon penganggur pada masa yang kan datang.
Dari kenyataan
ini, ada beberapa kelemahan kurikulum pendidikan islam yang diamati oleh
beberapa ahli pendidikan antara lain: Towaf (1996) menyatakan, bahwa pendekatan
kurikulum pendidikan islam masih cenderung normatif, dalam arti pendidikan islam menyajikan
norma-norma yang seringkali tanpa ilustrasi konteks sosial budaya sehingga
peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai yang hidup
dalam keseharian. Kurikulum pendidikan agama islam yang dirancang di sekolah
sebenarnya lebih menawarkan minuman kompetensi atau minuman informasi, tetapi
pihak guru pendidikan islam seringkali terpaku padanya sehingga semangat untuk
memperkaya kurikulum dengan pengalaman belajar yang bervariasi kurang tumbuh.
Rosdianah,
mengemukakan beberapa kelemahan dari pendidikan islam di sekolah, baik dalam
pemahaman materi pendidikan maupun dalam pelaksanaannya, yaitu: (1) dalam
bidang teologi, ada kecenderungan mengarah pada faham fatalistik, (2) bidang
akhlak berorientasi pada urusan sopan santun dan belum dipahami sebagai
keseluruhan pribadi manusia beragama, (3) bidang ibadah diajarkan sebagai
kegiatan rutin agama dan kurang ditekankan sebagi proses pembentukan
kepribadian, (4) dalam bidang hukum (fikih) cenderung dipelajari sebagai tata
aturan yang tidak akan berubah sepanjang masa, dan kurang memahami dinamika dan
jiwa hukum islam, (5) agama islam cenderung diajarkan sebagai dogma dan kurang
mengembangkan rasionalitas serta kecintaan pada kemajuan ilmu pengetahuan,
(6)morientasi mempelajari al-Qur’an masih cenderung kepada kemampuan membaca
teks, belum mengarah pada pemahaman arti dan penggalian makna apalagi sampai
pada taraf menganalisis dan mengoprasionalkan dalam kehidupan nyata. [2]
G. Metode Pendidikan Islam
Sebagai
disiplin ilmu, pendidikan islam bertugas pokok mengilhamkan wawasan atau
pandangan tentang kependidikan yang terdapat di dalam sumber-sumber pokok
dengan bantuan dari pendapat para sabat dan ulama atau ilmuwan muslim. Dalam
sumber-sumber pokok itu terdapat bahan-bahan fundamental yang mengandung nilai
kependidikan atau implikasi-implikasi kependidikan yang masih berserakan. Untuk
dibentuk suatu ilmu pendidikan islam, bahan tersebut perlu disistematisasikan
dan teriosasikan sesuai dengan akidah (norma-norma) yang ditetapkan dalam dunia
pengetahuan.
Dalam sejarah
perkembangan islam pada periode awal, pendidikan islam yang diajarkan oleh Nabi
Muhammad SAW adalah pemenuhan kebutuhan manusia untuk bebas dari belenggu
akidah yang sesat dianut oleh kelompok elitis quranis yang dijadikan sarana
mental untuk melestarikan kekuasaan penindasan terhadap orang dari kelompok
lain yang dipandang rendah derajatnya, katakanlah rakyat jembel. Dengan
menginternalisasikan nilai keimanan berdasarkan tauhid secara individualistis,
segala kepercayaan sesat itu dapat dibersihkan dari jiwa mereka sehingga tauhid
menjadi landasan kokoh dalam kehidupan manusia. Metode yang dipergunakan Nabi
dalam personalisasi berdasarkan pendekatan personal-individual, kemudian meluas
kearah pendekatan keluarga yang memandang bahwa orang-perorangan merupakan
bagian dari unit keluarga. Sedangkan keluarga menjadi subsistem masyarakat, dan
masyarakat semakin berkembang menjadi sistem makro dalam bentuk negara.
Metode
pendidikan islam yang kita cipatakan harus berfungsi secara efektif dalam
proses pencapaian tujuan pendidikan islam itu. Komprehensivitas daripada tujuan
pendidikan itu harus pararel dengan keanekaragaman metode mulai dari metode
verbalistik-simbolisme sampai kepada berinteraksi langsung dengan situasi
belajar mengajar, misalnya kegiatan belajar dengan berdiskusi atau soal-jawab
dengan guru. Metode yang dipakai dalam proses kependidikan islam bertumpu dalam
paedosentrisme, diman kemampuan fitrah manusia dijadikan pusat proses
kependidikan.
Metode islami
atau Al Qur’an al-hikmah dan maukizhah al-hasanah serta mujadalah yang
paling baik, menuntut kepada pendidik untuk berorientasi kepada educational
needs dari anak didik, di mana faktor human nature yang potensial
tiap pribadi anak dijadikan sentrum proses kependidikan sampai kepada batas
maksimal perkembanganya.
H.
Pengaruh Sains dan Teknologi Canggih
Sebagaimana
kita ketahui bahwa dampak positif dari kemajuan teknologi sampai kini adalah
bersifat fasilitatif (memudahkan). Memudahkan kehidupan manusia yang
sehari-hari sibuk dengan berbagai problema yang semakin rumit. Teknologi
menawarkan berbagai macam kesantaian dan kesenangan yang semakin luas, memasuki
ruang-ruang dan celah-celah kehidupan kita sampai yang remang-remang dan bahkan
gelap pun dapat dipenetrasi.
Dampak negatif
dari teknologi modern telah mulai menampakkan diri di depan mata kita. Pada prinsipnya berkekuatan
melemahkan daya mental-spiritual atau jiwa yang sedang tumbuh berkembang dalam
berbagai bentuk penampilan dan gaya-gayannya. Tidak hanya nafsu mutmainah yang
dapat diperlemah oleh rangsangan negatif dari teknologi elektronika dan
informatikaa, melainkan juga fungsi-fungsi kejiwaan lainnya. Seperti kecerdasan
pikiran, ingatan, kemauan, dan perasaan atau emosi diperlemah. Kemampuan
aktualnya dipermudah dengan alat-alat teknologis-elektronis dan informatika
seperti komputer, fotokopi jarak jauh (facsimile), video casette
recorder (VCR) dan komoditi celluloid (film, video-disc), dan sebagainya. Dalam waktu dekat, anak didik kita tidak perlu belajar bahasa
asing atau ketrampilan tangan, dan berpikir ilmiah taraf tinggi, karena
alat-alat teknologi telah mampu menggantikannya dengan komputer penerjamah semua bahasa asing. Robot-robot telah siap
mengerjakan tugas-tugas yang harus dikerjakan dengan tangan dan mesin otak
(komputer generasi baru) mampu berpikir lebih cepat dari otak manusia itu
sendiri. Lalu, bagaimana proses menginternalisasikan dan metransformasikan
nilai-nilai iman dan takwa ke dalam lubuk hati manusia. Sampai saat ini kita
belum mendengar adanya teknologi transformasi nilai-nilai spiritual itu. Bukan
tidak mungkin selepas abad ke 20 nanti mesin itu akan diciptakan manusia.
Permasalahan
baru yang harus diselesaikan oleh pendidikan islam, khususnya adalah
dehumanisasi pendidikan, netralisasi nilai-nilai agama atau upaya pengendalian
dan mengarahkan nilai-nilai transisional kepada suatu pemikiman yang ilahi,
kokoh dan tahan banting. Baik dalam dimensi individual maupun sosiokultural.
Di arena,
perbenturan antar nilai sekuler dan nilai absolutisme dari tuhan akibat
rentannya pola pikir manusia teknologis yang pragmatis-relativistis inilah
pendidikan islam harus hidup mengacu dan membeuktikan kemampuan canggihnya.
Disinilah to be or not to be-nya (eksistensinya) pendidikan islam.
I.
Menghadapi tantangan dampak-dampak IPTEK modern
Dalam sejarah
peradaban islam, dapat kita telaah bahwa para ilmuwan muslim, para filsuf, para
ulama, dan sebagainya memiliki sikap positif terhadap ilmu dan teknologi yang
nonislami, seperti yang berasal dari Yunani, Persia, dan sebagainya didasari
dengan rasa optimism sesuai
dengan ajaran islam, para ilmuwan dan para ulama masa itu secara antusias
mentransfer iptek dari luar yang kemudian dikembangkan menjadi iptek yang
islami. Mereka mampu mengislamkan iptek yang nonilsmi itu, berkat kecerdasan
dan daya kreativitas tinggi yang dimotivasi oleh ajaran Al-Qur’an serta daya
selektivitas terhadap jenis-jenis iptek dari luar, sehingga bentuk-bentuk iptek
yang membahayakan aqidah keimanan, ditinggalkan oleh mereka, seperti dalam
bidang filsafat yang bersifat hedonistik dan epikuristik (yang menekankan
kenikmatan hidup dari nafsu-nafsu rendah) dan bidang kesustraan yang penuh
dengan khayal dan kesedihan (tragedy). Karena islam mengajarkan
kehidupan yang penuh optimisme, rahmat dan berkat dari Tuhan bukan mengumbar
nafsu-nafsu rendah, dan sikap pesimisme serta melankolisme, maka mereka mengembangkan
pola pikirnya dalam ilmu kalam yang secara filosofis menganalisis tentang
kehidupan eskatologis dan metafis di mana Tuhan menjadi penentu yang final.
Pada akhirnya
strategi pendidikan islam dalam mengantisipasi kemajuan iptek modern, adalah
terletak pada kemampuan mengkonfigurasikan sistem nilai islami yag akomidatif
terhadap aspirasi umat islam uttuk berpacu dalam kompetensi bidang iptek di
satu pihak, dan di lain pihak kemampuan psikologis serta pedagogis yang berdaya
kreatif untuk mentransfer iptek modern itu sendiri. Inilah program minimal
pendidikan islam yang perlu kita rencanakan dan laksanakan saat ini. [3]
J.
Problematika yang terjadi pada anak dalam memahami pelajaran
1.
Faktor otak, yang meliputi:
-
Kurang cerdas
-
Terjadinya lemah ingatan dan buyarnya konsentrasi
2.
Faktor emosi
-
Lemahnya kepercayaan pada dirinya sendiri
-
Lemah keiginan dan malas
-
Membenci pelajarab tertentu
-
Membenci guru tertentu
3.
Faktor yang berkaitan dengan anggota badan
-
Tertimpa anemia atau penyakit yang lain
-
Adanya kelemahan pada panca indera tertentu
4.
Faktor lingkungan
-
Banyaknya murid yang pindah dari sekolah ke sekolah yang lain
-
Banyaknya tempat bermain yang menggoda dirinya di luar sekolah
-
Adanya tuntutan orang tua yang berlebihan
-
Kurang mampu mengatur waktu
-
Kondisi rumah yang kurang kondisional untuk belajardan adanya
perhatian yang kurang terhadap anak. [4]
K.
Pendidikan Islam Di Indonesia : Pesantren, Madrasah, dan Sekolah
Kajian tentang
perbandingan madrasah, pondok pesantren, dan sekolah sebgai tiga bentuk
pendidikan yang terbesar di Indonesia khususnya terkait implementasi pendidikan agama islam
bukan sebuah hal baru. Diskusi tentang itu, sebagaimana diketahui secara jamak
telah ada utamanya sejak pemerintah indonesia meresmikan madrasah melalui SKB
Tiga Menteri Tahun 1975 sebagai lembaga pendidikan yang diakui sebagaimana
sekolah umum. Lalu pada akhir-akhir
inipun pesantren sebagai corak pendidikan asli milik masyarakat indonesia pasca
disahkan Undang-undang Sisdiknas NO 20 Tahun 2003, juga telah mendapat tempat
yang sejajar dengan lembaga pendidikan lainnya di mata pemerintah. Meskipun
keberadaan pesantren murni kebanyakan di mata pemerintah diletakan pada jalur
pendidikan nonformal. Oleh sebab itu, wajar bila setelahnya terjadi penilaian,
perbandingan dan pembaharuan terhadap ketiga bentuk pendidikan tersebut.
Apabila
menengok pada keadaan sebelum lahirnya Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun
2003, sesungguhnya posisi pesantren diasingkan dan terdeskriminasi dari sistem
pendidikan nasional. Pada waktu itu pesantren dipandang bukanlah sebagai
lembaga pendidikan yang pantas untuk disandingkan dengan lembaga sekolah umum.
Meski demikian, peran pesantren dalam pembangunan bangsa indonesia sangat
besar, utamanya dalam mendidik moral anak bangsa yang sebagian besar dari
kalangan miskin dan termarjinalkan. Yakni, dari kalangan masyarakat yang tidak
terserap oleh lembaga pendidikan formal yang kala itu cenderung mahal dan
sekuler. Salah satu perannya adalah meningkatkan keimanan, ketakwaan dan akhlak
mulia.
Adapun dari
sudut perbandingan istilahnya antara madrasah dengan pondok pesantren tidak
memiliki perbedaan. Artinya, keduannya sama-sama sebagai lembaga pendidikan yang
ciri utamanya adalah untuk mendalami dan mengamalkan nilai-nilai islam.
Perbedaan keduannya ada pada tujuan holistis, bahwa awal berdirinya madrasah di
indonesia ditengarai banyak keinginan untuk mengadakan pembaruan sistem
pendidikan islam yang lama yaitu, psantren. Sesungguhnya pesantren secara
formal diposisikan ke dalam jenis pendidikan keagamaan, sedangkan madrasah dan
sekolah (MI/SD, SMP/MTS, MA/SMA) diposisikan sebagi jenis pendidikan umum,
serta (MAK/SMK) masuk dalam jenis pendidikan kejuruan. Dari situ dapat
dikatakan bahwa pesantren hanya memfokuskan diri pada pembelajaran keagamaan
islam. Sedangkan madrasah selain mempelajari ilmu keagamaan juga mempelajari
ilmu umum.
1. Pesantren Sebagai
Lembaga Pendidikan Islam
Dalam kamus
besar bahasa indonesian kata pesantren berasal dari kata dasar “santri”, sehingga
bisa menjadi pesantrian atau yang lebih dikenal dengan pesantren. Di mana kata pesantren berarti asrama tempat
santri atau tempat murid-murid belajar mengaji atau bisa diartikan sebagai
pondok. Sedangkan, kata pondok punya arti pertama bangunan untuk tempat
sementara seperti yang didirikan di lading, di hutan, kedua, rumah
(sebutan untuk merendahkan diri), ketiga, bangunan tempat tinggal yang
berpetak-petak dan berbindinding balik dan beratap rumbai (tempat tinggal
beberapa keluarga), empat, madrasah dan asrama (tempat mengaji, belajar
agama islam).
Pesantren
merupakan lembaga yang tumbuh dari bawah, yaitu karena dikehendaki dan dibangun
oleh masyarakat bahkan oleh perangkat pemerintahan desa. Namun demikian, peran
kiai sebagai sosok utama dalam pendirian dan pengembanganya sangat dominan.
Bisa dikatakan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan islam yang paling
otonom. Artinya, lembaga yang tidak bisa di intervensi dari sudut pandang
apapun oleh pihak-pihak luar kecuali atas izin Kiai. Dari sini dapat dilihat
bahwa Kiai merupakan sosok pemimpin yang menentukan kebijakan secara mutlak,
sebagai pusat kurikulum, dan sebagai “pemilik” pondok pesantren. Bisa
dikatakan, pesantren “murni” merupakan bentuk pendidikan islam yang paling
orosinil dan berwibawa karena terjaga atau meminilisir pengaruh-pengaruh eksternal.
Menurut
Zamakhsary Dhofir pendidikan pesantren harus berdiri di atas lima pilar
penyangga, yaitu pondok (asrama), masjid, santri (siswa), kitab kuning
(pengajaran kitab islam klasik), kyai (guru). [5]Asrama
atau dikenal dengan istilah pondok adalah sebuah tempat pendidikan islam
tradisional dimana santri atau siswa tinggal bersama dan belajar di bawah
bimbingan seorang guru atau sering dikenal dengan sebutan kyai. Masjid
merupakan tempat yang paling sentral dalam pesantren atau menjadi pusat kegiatan.
Santri dibedakan menjadi dua macam, yaitu santri mukim dan santri kalong.
Kitab-kitab yang diajarkan di pesantren pada umumnya dapat dikelompokan menjadi
delapan, yaitu al-Nahwu dan al-sarf, al-fiqh, usul al-fiqh, al-hadith,
al-tafsir, al-tauhid, al-tasawuf dan cabang-cabang yang lain seperti al-tarikh,
al-balaghah dan sebagainya.[6]
Dan kyai atau pengasuh pondok pesantren merupakan elemen yang sangat esensial
bagi suatu pesantren. Rata-rata pesantren yang berkembang di jawa dan Madura,
sosok kyai begitu sangat berpengaruh, karismatik, berwibawa, sehingga amat
disegani oleh santri dan masyarakat di lingkungan pesantrennya. [7]
2. Madrasah
Madrasah adalah
sekolah atau perguruan yang didasarkan pada agama islam. Sedangkan, jenjangnya
ada madrasah ibtidaiyah yaitu sekolah agama islam tingkat dasar (SD), madrasah
tsanawiyah yaitu sekolah agama islam tingkat menengah (SMP), madrasah Aliyah
yaitu sekolah agama islam tingkat atas (SMA),. Sesungguhnya, istilah madrasah
bukanlah asli dari Indonesia, tapi muncul pertama kali pada abad X atau XI
Masehi di ataimur Tengah. Dalam konteks Indonesia, pendirian madrasah merupakan
fenomena modernisasi pendidikan islam di Indonesia. Salah satu upayannya adalah
pengembangan system pendidikan tradisional islam yang awalnya diadakan di
Masjid, langgar, dan pesantren tanpa batas waktu dan batas usia peserta
didiknya dikembangkan menjadi system klasikal. Yakni, terdapat penjenjangan,
penggunaan fasilitas bangku serta papan tulis, hingga memasukan materi
pengetahuan umum dalam kurikulumnya. Bisa dikatakan, dalam konteks
keindonesiaan penggunaan istilah madrasah dimaksudkan untuk membedakan antara
lembaga pendidikan islam modern dengan lembaga pendidikan islam tradisional
maupun pendidikan sekolah ala Belanda yang cenderung sekuler.
Dapat
disimpulkan madrasah adalah lembaga pendidikan yang diakui secara hokum yang
orientasi utamnya untuk mengadakan pembaharuan pendidikan islam. Baik dari segi
keilmuwan, manajemen, system pembelajaran, dan pasca terbitnya SKB 3 Menteri
1975 yaitu untuk memenuhi formalitas (ijazah, memakai seragam, terdapat
manajemen professional dll). Dengan maksud generasi umat islam yang mampu
menguasai ilmu pengetahuan agama sekaligus ilmu pengetahuan umum secara
seimbang. Madrasah juga bisa dimaksudkan sebagai bentuk eksistensi sekaligus
identitas kultur keagamaan umat islam dalam dunia pendidikan modern.
3. Sekolah
Kata sekolah
salah satunya memiliki arti bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar
serta tempat menerima dan memberi pelajaran. Sedangkan secara khusus sekolah
agama diartikan sebagai sekolah yang memberikan pendidikan dalam bidang
keagamaan. Sekolah bukanlah produk system pendidikan asli nusantara. Ia
merupakan warisan dan hasil reproduksi dari kolonialisme belanda. Tidak seperti
halnya pesantren yang secara kultur merupakan asli Indonesia. Paling tidak
pesantren lahir di Indonesia dengan kesahajaannya, tanpa kepentingan duniawi
dan menyatu dengan kultur pribumi. Sedangkan madrasah adalah hasil pengembangan
yang berasal dari sinergitas antara bentuk pendidikan pesantren dan pendidikan
sekolah. Oleh karena itu, pada konteks masa kini dalam upaya melakukan program
pembudayaan religious berbasis islam di sekolah umum oleh pendidik PAI perlu
strategi yang cerdas dan lebih rumit dari pada lembaga pendidikan berciri khas
islam. [8]
BAB III
HASIL OBSERVASI
A.
Profil Sekolah
1.
Formal
Nama Sekolah : SD N 1 Kracak
Alamat
: Kracak, Kec. Ajibarang
Nama Kepala Sekolah : Wanto Tirta, S.Pd.
Nama Guru PAI : Tri Nur Hayati, S. Pd. I
Hari/Tanggal : 3 April 2017
Waktu
: 07.30-selasai
2.
Non Formal
Nama Lembaga :
Pondok Pesantren Al-Huda Pulasari
Alamat
: Pulasari Kracak, Kec. Ajibarang
Nama Ustad :
Makhrus Syaeani, S. Pd.
Hari/Tanggal : 22 April 2017
Waktu
: 12.30-selasai
B.
Cara Pengumpulan Data
Wawancara
Dalam pengumpulan data, saya menggunakan metode wawancara dengan guru PAI
disekolah tersebut sehingga mempermudah saya dalam pengambilan data-data yang
saya perlukan.
C.
Hasil Wawancara
1.
Formal\
-
Problematika dalam pendidikan
islam di SD
1)
Latar belakang siswa yang
berbeda-beda sehingga menimbulkan masalah. Misalnya terkait pembacaan Qunut
dalam sholat subuh. Karena perbedaan itulah ada beberapa wali murid yang
memprotes akan penggunaan Qunut tesebut, padahal dari pihak guru membolehkan
dan juga tidak melarang penggunaan Qunut dalam shalat subuh. Dan penggunaan
Kabiro serta Bangid dalam bacaan shalat.
2)
Kebiasaan pengajaran murid,
yang belum sesuai dengan pengajaran yang benar, sebagaimana pada Baca Tulis
Al-Qur’an baik lafal maupun tulisan. Hal ini menyebabkan guru mengalami
kesulitan dalam melakukan perbaikan. Misalnya dalam surat An-Nas yang seharusnya
di baca ملك tetapi dibaca ما لك .
3)
Orang tua yang terlalu fanatik
terhadap faham agama yang dianutnya, tidak memberikan kebebasan terhadap guru
dalam mengajarkan pendidikan agama islam.
-
Cara yang tepat dalam mengatasi
problem yang tersebut diatas?
1)
Melakukan pendekatan
individual, pertama-tama guru melakukan pendekatan dimana peran guru disini
sebagai teman, dengan mendekati kemudian perbaiki.
2)
Melakukan pengulangan secara
terus-menerus, sebagaimana apabila ketidak sesuaian dalam awal pengajaran
karena kebiasaan dengan pengulangan dengan pengajaran yang sesuai itu akan
menjadi solusi yang tepat.
-
Cara menanamkan pendidikan
islam yang baik bagi peserta didik
1)
Menjadi pribadi dan contoh yang
baik, sebagaimana Rasulullah mengajarkan kepada para umatnya. Dengan mencontohkan
perkataan-perkataan yang baik, kemudian di ikuti dengan perbuatan yang baik.
2)
Menanamkan nialai-nilai yang
Rasulullah ajarkan, seperti suka menolong, berbagi dan ramah.
3)
Menggunakan bahasa yang baik
dan santun, karena bahasa yang baik menandakan pribadi yang baik sebagaimana
yang diajarkan agama. “Jadilah pribadi yang baik dan santun”
-
Pengaruh IPTEK terhadap
pendidikan islam
1)
Dapak Positifnya adalah ketika
IPTEK itu digunakan dalam hal yang baik, seperti memudahkan dalam pembelajaran
ketika guru akan menyampaikan materi-materi yang memang dicontohkan seperti
halnya menggunakan video, gambar atau yang lain. Pembelajaran yang
berlangsungpun akan lebih menyenangkan karena pastinya bervariasi. Pendidikan
islam pun tidak hanya dapat kita lihat dalam indonesia saja namun juga sampai
seluruh dunia, bagaimana perkembanganya sebagai evaluasi bagi kita pendidik dan
tenaga kependidikan menanggapi perkembangan pendidikan islam dunia.
2)
Dampak Negativnya adalah ketika
IPTEK itu sendiri salah dalam mempergunakannya, sebagaimana peserta didik hanya
menggunakannya untuk bermain, untuk mengunduh hal-hal yang negativ seperti
bokep dan yang lainnya. Dan mengurangi perhatian guru terhadap murid karena
lebih memperhatikan hal-hal yang berada di media sosial dalam pembelajaran.
Apabila belajar dari internet yang tidak tau siapa gurunya apa sanadnya dan
bagaimana pedomannya ajaran itu akan membawa kepada keburukan.
-
Menyikapi pengaruh IPTEK dalam
pendidikan islam
1)
Tetap berpegang teguh kepada
Al-Qur’an, Al-Hadist, Ijma dan Kias
2)
Memperkuat dan mendalami
pengetahuan-pengetahuan agama secara rinci dan jelas
3)
Tetap mengikuti perkembanganya,
serta mengontrol dalam setiap hal pemakaianya.
4)
Memberikan nasehat tentang
IPTEK terhadap murid agar mampu menggunakannya sebijak mungkin dan tidak
mengunduh hal-hal yang tidak baik.
-
Tujuan dan manfaat pendidikan
agama islam di SD
1)
Mengenalkan kepada peserta
didik tentang ketauhidan, syariat, akidah, ibadah dan hal-hal yang berkaitan
dengan agama islam
2)
Menanamkan akhlak yang baik
(akhlakul karimah) sesuai dengan al-Qur’an
3)
Mengarahkan peserta didik agar
agama menjadi perilaku kita sehari-hari
4)
Mengetahui hal yang dilarang
dan dipebolehkan dalam agama dan pedoman dalam bertingkah laku
2.
Non Formal
-
Problematika pendidikan islam dalam
pondok pesantren
1)
Dalam pesantren ini ada
beberapa hal yang menjadi problematikanya antara lain adalah kurangnya tenaga
pengajar
2)
Keterbatasan waktu sehingga menyulitkan guru menyalurkan ke
ilmuwannya secara mendalam, karena santri yang mengaji semuanya adalah santri
kalong
3)
Kemudian dari rumah santri itu
sendiri, karena ini berkaitan dengan tingkat motivasi santri yang terkadang ada
rasa malas mengaji dikarenakan rumah yang cukup jauh.
-
Peran Pondok Pesantren bagi
pendidikan islam
1)
Mencerdaskan generasi melalui
pengamalan, pembiasaan ibadah, dan ilmu-ilmu agama yang lainnya dimana ilmu
tersebut akan dibutuhkan di masa depan dalam kehidupan bermasyarakat.
2)
Sarana pembangunan dan
pengembangan keagamaan santri namun selain itu juga masyarakat sekitarnya,
melalui pengajaran-pengajaran ilmu keagamaanya.
3)
Mendidik santri-santri dengan
berbagai kitab kuning, menghafal al-Qur’an, mendidik berdisiplin ilmu, serta
penanaman moral etik.
-
Pesantren menyikapi
perkembangan IPTEK
1)
Memberikan pegangan yang kuat
dengan ilmu-ilmu agama, yang nantinya akan menjadi pengontrol dalam segala hal
termasuk IPTEK yang terus berpengaruh
2)
Menyelipkan nasihat-nasihat
agar kita mampu mengendalikan IPTEK itu sendiri, dengan kita memakainya secara
bijaksana.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Dari teori-teori dan
hasil observasi di atas memperlihatkan bahwasanya masih banyak
problematika-problematika yang dirasakan dalam pendidikan islam, baik itu dalam
lembaga formal seperti SD/MI dan lembaga nonformal seperti pondok pesantren.
Sebagaimana di atas, problematika-problematika itu terjadi dikarenakan
perkembangan zaman dan IPTEK yang sangat berpengaruh dalam pendidikan termasuk
dalam pendidikan islam itu sendiri. Disinilah peran sekolah atau madrasah serta
pesantren sangat di harapkan mampu menjadi pengendali atau pengontrol dalam
perkembangan zaman yang nantinya akan semakin maju. Dan juga pendidikan baik
formal ataupun nonformal inilah yang diharapkan menjadi solusi disetiap
problematika-problematika yang terjadi di dunia khususnya di indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, A. Rifqi. 2015. Pengembangan
Pendidikan Agama Islam. (Yogyakarta: PT LKis Printing Cemerlang).
Arifin, Muzayyin . 2003. Kapita Selekta Pendidikan Islam. (Jakarta: PT Bumi Aksara).
Dhofier, Zamakhyri. 2011. Tradisi Pesantren Studi
Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. (Jakarta: LP3ES).
Masjkur, Anhari. 2007. Integrasi Sekolah Ke Dalam System Pendidikan Pesantren.
(Surabaya: Diartama).
Sanaky, Hujair AH. 2003. Paradigma
Pendidikan Islam Membangun Masyarakat Madani Indonesia. (Yogyakarta: Safiria Insania Press).
Sulaiman, Abu
Amr Ahmad . 2006. Metode Pendidikan Anak Muslim 6 S/D 9 tahun. (Jakarta:
Darul Haq) 120.
Yasmadi. 2005. Modernisasi
Pesantren Kritik Nurcholish Majid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, Cet. 2. (Jakarta: Quantum Teaching).
[2] Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan
Islam Membangun Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta:
Safiria Insania Press, 2003), hlm. 138-167.
[4] Abu
Amr Ahmad Sulaiman, Metode Pendidikan Anak Muslim 6 S/D 9 tahun,
(Jakarta: Darul Haq, 2006), hlm. 118-120.
[5] Zamakhyri Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kyai
dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES,2011), hlm. 79
[6]
Anhari Masjkur, Integrasi Sekolah Ke Dalam System Pendidikan Pesantren,
(Surabaya: Diartama, 2007), hlm. 19.
[7]
Yasmadi, Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholish Majid Terhadap Pendidikan
Islam Tradisional, Cet.2, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), hlm. 66.
[8] A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam, (Yogyakarta:
PT LKis Printing Cemerlang, 2015), hlm. 187-201.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar