Rabu, 03 Mei 2017

1423305262 Syafi’atun Nur Khasanah (SD N 1 Kracak, Ajibarang dan Pondok Pesantren Al-Huda Pulasari)



LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM FORMAL DAN NON FORMAL


Disusun dan Diajukan Guna Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah: Kapita Selekta Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Rahman Afandi, S.Ag, M. Si.

Oleh:
Syafi’atun Nur Khasanah    (1423305262)



JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PURWOKERTO
2017

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam rangka menunjang pelaksanaan proses pembelajaran mata kuliah Kapita selekta pendidikan islam, kami mengadakan observasi di SD N 1 Kracak dan Pondok Pesantren Al-Huda Pulasari tentang bagaiman problematika yang dihadapi dalam pendidikan islam di SD N 1 Kracak dan Pondok Pesantren Al-Huda Pulasari . Maka kami melakukan wawancara yang dilaksanakan pada hari senin 3 april 2017 dan tanggal 22 april 2017.
Observasi ini dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman saya tentang  bagaimana problematika yang dihadapi dalam pendidikan islam dalam lembaga formal dan non formal. Sehingga saya mampu mempersiapakan segala sesuatu dalam mengahadapi problematika-problematika di masa yang akan datang. Sebagai pengetahuan dalam mengetahui perkembangan pendidikan islam dan problematika yang dialami di daerah tempat saya tinggal.

BAB II
TEORI
A.     Pengertian Pendidika islam
Salah satu pandangan modern dari seorang ilmuwan muslim, pakar pendidikan islam DR. Muhammad S.A. Ibrahimy (Bangladesh) mengungkapkan pengertian pendidikan islam yang berjangkauan luas, sebagai berikut.
“Islamic education in true sense of the term, is a system of education which enables a man to lead his life according to the Islamic ideology, so that he may easily mould his life in accordance with tenets of islam. And thus peace and prosperity may prevail in his own life as well as in the world. These Islamic scheme of education is, of necessity an all embracing system, for islam enchomphasses the entire gamut of moslem’s life. It can justly be said that all branches of learning wich are not Islamic are included in the Islamic education. The scope of Islamic education has been changing at different times. In view of the demands of the age and the development of science and technology, its scope has also widened.”[1]
Sedangkan dalam pandangan Muhammad Athiyah al Abrasyi, pendidikan islam adalah sebuah proses untuk mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan berbahagia, mencintai tanah air,tegap jasmaninya, sempurna akhlaknya, teratur fikirannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya baik lisan atau tulisan. Menurut Marimba, pendidikan islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran islam.
B.     Kondisi Pendidikan Islam di Indonesia
Kondisi pendidikan islam di indonesia, sebenarnya menghadapi nasib yang sama, dan secara khusus pendidikan islam menghadapi berbagai persoalan dan kesenjangan dalam berbagai aspek yang lebih kompleks, yaitu berupa persoalan dikotomi pendidikan, kurikulum, tujuan dan sumber daya, serta manajemen pendidikan islam. Sistem pendidikan islam haruslah senantiasa mengorientasi diri untuk menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul dalam masyarakat kita sebagai konsekuensi logis dan perubahan.
Pada era reformasi ini, pendidikan nasional ditekankan untuk membangun manusia dan masyarakat madani indonesia yang mempunyai identitas, berdasarkan budaya indonesia. Untuk mencapai cita-cita tersebut, pendidikan hendaknya didasarkan pada paradigma-paradigma baru yang bertujuan untuk membentuk suatu “masyarakat madani” yang demokratis. Pendidikan harus bertolak dari pengembangan manusia indonesia yang berbudaya dan berperadaban, merdeka, bertakwa, bermoral, dan berakhlak, berpengetahuan dan berketrampilan, inovatif dan kompetitif, sehingga dapat berkarya secara profesional dalam kehidupan global menuju masyarakat madani indonesia.
Ada beberapa indikator sebagai usaha pembaruan pendidikan islam yaitu, setting pendidikan, lingkungan pendidikan, karakteristik pembaruan, dan kurikulum yang disajikan sesuai dengan karakteristik tujuan. Perlu diketahui bahwa suatu usaha pembaruan pendidikan dapat terarah dengan baik apabila didasarkan pada kerangka dasar filsafat dan teori pendidikan yang mantap. Filsafat pendidikan hanya dapat dikembangkan berdasarkan asumsi-asumsi dasar yang kokoh dan jelas tentang manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, hubunganya dengan lingkungan, alam semesta, akhiratnya, dan hubungannya dengan maha pencipta sedangkan teori pendidikan dapat dikembangkan atas dasar pertemuan antara pendekatan filosofis dan pendekatan empiris.
C.     Misi dan Visi Pendidikan Islam
Menurut beberapa pengertian, misi adalah jalan pilihan (the chosen track) suatu organisasi untuk menyediakan produk/jasa bagi customernya. Sedangkan visi merupakan suatu pikiran yang melampaui realitas sekarang, sesuatu yang kita ciptakan yang belum pernah ada sebelumnya, suatu keadaan yang akan kita wujudkan yang belum pernah kita alami sebelumnya. Misi dan visi pendidikan islam itu sendiri yaitu, membentuk “insan kamil” yang berfungsi mewujudkan rahmatan lil ‘alamin.
D.     Strategi Pendidikan Islam
Pembangunan pendidikan dan pendidikan islam di Indonesia sekurang-kurangnya menggunakan empat strategi dasar yakni pertama, pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Kedua, relevansi pendidikan, ketiga, peningkatan kualitas pendidikan, dan keempat, efisiensi pendidikan. Secara umum strategi itu dapat dibagi menjadi dua dimensi yaitu peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan. Pembangunan peningkatan mutu diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas dan produktivitas pendidikan, sedangkan dimensi pemerataan pendidikan diharapkan dapat memberikan kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan bagi semua usia sekolah.
E.      Reorientasi Tujuan Pendidikan Islam
Beberapa pengamat pendidikan islam, menyatakan bahwa rumusan tujuan pendidikan islam ;ebih pada upaya kebahagiaan di dunia dan di akhirat, menghamba diri kepada Allah, memperkuat keislaman, melayani kepentingan masyarakat islam, dan akhlak mulia. Tampaknya dalam merumuskan tujuan pendidikan, “umat islam atau sebagian para ahli pendidikan islam mengalami kesulitan dalam membedakan syariat islam sebagai ilmu yang disusun ulama sebagai tafsir atas wahyu serta syariat islam sebagai ajaran tuhan dalam wahyu yang termaktub dalam al-Qur’an. Islam lalu mengalami penyempitan menjadi hNY ilmu syariat dan ilmu-ilmu islam lainnya.
Teuku Amiruddin, menyatakan pendidikan islam bertujuan untuk: (a) mewujudkan cendekiawan muslim yang bertakwa dan berakhlak mulia, cerdas, cakap, terampil, mandiri dan bertanggung jawab terhadap kemslahatan umat, (b) mempersiapkan peserta didik untuk menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik atau professional untuk menyelesaikan tugas-tugas dan kewajibannya sehari-hari, yaitu dengan jalan menerapkan dan mengembangkan ilmu dan ketrampilan yang ada pada dirinya masing-masing di lingkungannya, (c) mengembangkan dan menyebarkan ilmu pengetahuan dan teknologi di lingkungan kerjanya sehari-hari sehingga menemukan teknologi baru yang lebih bermanfaat bagi manusia. Walaupun demikian, tentulah rumusan inipun masih dirasakan bersifat umum, sehingga perlu dijabarkan lagi secara rinci sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masing-masing lembaga pendidikan islam, sekolah-sekolah islam, dan daerah.
Rumusan tujuan pendidikan islam diharapkan lebih bersifat problematis, strategis, antisipatif menyentuh aspek aplikasi serta dapat menyentuh kebutuhan masyarakat atau pengguna lulusan. Artinya, pendidikan islam harus berupaya membangun manusia dan masyarakat secara utuh dan menyeluruh (insan kamil) dalam semua aspek kehidupan yang berbudaya dan berperadaban yang tercemin dalam kehidupan manusia bertakwa dan bermain, berdemokrasidan merdeka, berpengetahuan, berketrampilan, bermoral anggun dan berakhlakul karimah,berkemampuan inovasi dan mengakses perubahan serta berkemampuan kompetitif dan kooperatif dalam era global dan berpikir lokal dalam rangka memperoleh kesejahteraan, kebahagian dan keselamatan duniawiyah dan ukhrawiyah.
F.      Reorientasi Kurikulum Pendidikan Islam
Materi pendidikan dan pendidikan islam tergambar dalam kurikulum yang disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikannya. Desain materi pendidikan harus memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaianya dengan lingkungan, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, seni, serta sesuai dengan jenjang masig-masing satuan pendidikan. Kurikulum pada dasarnya berfungsi untuk menyediakan program pendidikan yang relevan bagi pencapaian sasaran akhir pendidikan. Untuk mencapai itu kurikulum berfungsi menyiapkan dan membentuk peserta didik agar dapat menjadi manusia yang memiliki kompetensi tertentu sesuai dengan orientasi kurikulum dan sasaran akhir program pendidikan. Program kurikulum harus diorientasikan dan disesuaikan dengan kebutuhan masa kini dan masa yang akan datang, apabila kurikulum tidak sesuai dengan kebutuhan masa kini dan masa yang akan datang tentu akan memiliki kontribusi yang signifikan terhadap calon-calon penganggur pada masa yang kan datang.
Dari kenyataan ini, ada beberapa kelemahan kurikulum pendidikan islam yang diamati oleh beberapa ahli pendidikan antara lain: Towaf (1996) menyatakan, bahwa pendekatan kurikulum pendidikan islam masih cenderung normatif, dalam arti pendidikan islam menyajikan norma-norma yang seringkali tanpa ilustrasi konteks sosial budaya sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian. Kurikulum pendidikan agama islam yang dirancang di sekolah sebenarnya lebih menawarkan minuman kompetensi atau minuman informasi, tetapi pihak guru pendidikan islam seringkali terpaku padanya sehingga semangat untuk memperkaya kurikulum dengan pengalaman belajar yang bervariasi kurang tumbuh.
Rosdianah, mengemukakan beberapa kelemahan dari pendidikan islam di sekolah, baik dalam pemahaman materi pendidikan maupun dalam pelaksanaannya, yaitu: (1) dalam bidang teologi, ada kecenderungan mengarah pada faham fatalistik, (2) bidang akhlak berorientasi pada urusan sopan santun dan belum dipahami sebagai keseluruhan pribadi manusia beragama, (3) bidang ibadah diajarkan sebagai kegiatan rutin agama dan kurang ditekankan sebagi proses pembentukan kepribadian, (4) dalam bidang hukum (fikih) cenderung dipelajari sebagai tata aturan yang tidak akan berubah sepanjang masa, dan kurang memahami dinamika dan jiwa hukum islam, (5) agama islam cenderung diajarkan sebagai dogma dan kurang mengembangkan rasionalitas serta kecintaan pada kemajuan ilmu pengetahuan, (6)morientasi mempelajari al-Qur’an masih cenderung kepada kemampuan membaca teks, belum mengarah pada pemahaman arti dan penggalian makna apalagi sampai pada taraf menganalisis dan mengoprasionalkan dalam kehidupan nyata. [2]
G.     Metode Pendidikan Islam
Sebagai disiplin ilmu, pendidikan islam bertugas pokok mengilhamkan wawasan atau pandangan tentang kependidikan yang terdapat di dalam sumber-sumber pokok dengan bantuan dari pendapat para sabat dan ulama atau ilmuwan muslim. Dalam sumber-sumber pokok itu terdapat bahan-bahan fundamental yang mengandung nilai kependidikan atau implikasi-implikasi kependidikan yang masih berserakan. Untuk dibentuk suatu ilmu pendidikan islam, bahan tersebut perlu disistematisasikan dan teriosasikan sesuai dengan akidah (norma-norma) yang ditetapkan dalam dunia pengetahuan.
Dalam sejarah perkembangan islam pada periode awal, pendidikan islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW adalah pemenuhan kebutuhan manusia untuk bebas dari belenggu akidah yang sesat dianut oleh kelompok elitis quranis yang dijadikan sarana mental untuk melestarikan kekuasaan penindasan terhadap orang dari kelompok lain yang dipandang rendah derajatnya, katakanlah rakyat jembel. Dengan menginternalisasikan nilai keimanan berdasarkan tauhid secara individualistis, segala kepercayaan sesat itu dapat dibersihkan dari jiwa mereka sehingga tauhid menjadi landasan kokoh dalam kehidupan manusia. Metode yang dipergunakan Nabi dalam personalisasi berdasarkan pendekatan personal-individual, kemudian meluas kearah pendekatan keluarga yang memandang bahwa orang-perorangan merupakan bagian dari unit keluarga. Sedangkan keluarga menjadi subsistem masyarakat, dan masyarakat semakin berkembang menjadi sistem makro dalam  bentuk negara.
Metode pendidikan islam yang kita cipatakan harus berfungsi secara efektif dalam proses pencapaian tujuan pendidikan islam itu. Komprehensivitas daripada tujuan pendidikan itu harus pararel dengan keanekaragaman metode mulai dari metode verbalistik-simbolisme sampai kepada berinteraksi langsung dengan situasi belajar mengajar, misalnya kegiatan belajar dengan berdiskusi atau soal-jawab dengan guru. Metode yang dipakai dalam proses kependidikan islam bertumpu dalam paedosentrisme, diman kemampuan fitrah manusia dijadikan pusat proses kependidikan.
Metode islami atau Al Qur’an al-hikmah dan maukizhah al-hasanah serta mujadalah yang paling baik, menuntut kepada pendidik untuk berorientasi kepada educational needs dari anak didik, di mana faktor human nature yang potensial tiap pribadi anak dijadikan sentrum proses kependidikan sampai kepada batas maksimal perkembanganya.
H.     Pengaruh Sains dan Teknologi Canggih
Sebagaimana kita ketahui bahwa dampak positif dari kemajuan teknologi sampai kini adalah bersifat fasilitatif (memudahkan). Memudahkan kehidupan manusia yang sehari-hari sibuk dengan berbagai problema yang semakin rumit. Teknologi menawarkan berbagai macam kesantaian dan kesenangan yang semakin luas, memasuki ruang-ruang dan celah-celah kehidupan kita sampai yang remang-remang dan bahkan gelap pun dapat dipenetrasi.
Dampak negatif dari teknologi modern telah mulai menampakkan diri di depan mata kita. Pada prinsipnya berkekuatan melemahkan daya mental-spiritual atau jiwa yang sedang tumbuh berkembang dalam berbagai bentuk penampilan dan gaya-gayannya. Tidak hanya nafsu mutmainah yang dapat diperlemah oleh rangsangan negatif dari teknologi elektronika dan informatikaa, melainkan juga fungsi-fungsi kejiwaan lainnya. Seperti kecerdasan pikiran, ingatan, kemauan, dan perasaan atau emosi diperlemah. Kemampuan aktualnya dipermudah dengan alat-alat teknologis-elektronis dan informatika seperti komputer, fotokopi jarak jauh (facsimile), video casette recorder (VCR) dan komoditi celluloid (film, video-disc), dan sebagainya. Dalam waktu dekat, anak didik kita tidak perlu belajar bahasa asing atau ketrampilan tangan, dan berpikir ilmiah taraf tinggi, karena alat-alat teknologi telah mampu menggantikannya dengan komputer penerjamah semua bahasa asing. Robot-robot telah siap mengerjakan tugas-tugas yang harus dikerjakan dengan tangan dan mesin otak (komputer generasi baru) mampu berpikir lebih cepat dari otak manusia itu sendiri. Lalu, bagaimana proses menginternalisasikan dan metransformasikan nilai-nilai iman dan takwa ke dalam lubuk hati manusia. Sampai saat ini kita belum mendengar adanya teknologi transformasi nilai-nilai spiritual itu. Bukan tidak mungkin selepas abad ke 20 nanti mesin itu akan diciptakan manusia.
Permasalahan baru yang harus diselesaikan oleh pendidikan islam, khususnya adalah dehumanisasi pendidikan, netralisasi nilai-nilai agama atau upaya pengendalian dan mengarahkan nilai-nilai transisional kepada suatu pemikiman yang ilahi, kokoh dan tahan banting. Baik dalam dimensi individual maupun sosiokultural.
Di arena, perbenturan antar nilai sekuler dan nilai absolutisme dari tuhan akibat rentannya pola pikir manusia teknologis yang pragmatis-relativistis inilah pendidikan islam harus hidup mengacu dan membeuktikan kemampuan canggihnya. Disinilah to be or not to be-nya (eksistensinya) pendidikan islam.
I.        Menghadapi tantangan dampak-dampak IPTEK modern
Dalam sejarah peradaban islam, dapat kita telaah bahwa para ilmuwan muslim, para filsuf, para ulama, dan sebagainya memiliki sikap positif terhadap ilmu dan teknologi yang nonislami, seperti yang berasal dari Yunani, Persia, dan sebagainya didasari dengan rasa optimism sesuai dengan ajaran islam, para ilmuwan dan para ulama masa itu secara antusias mentransfer iptek dari luar yang kemudian dikembangkan menjadi iptek yang islami. Mereka mampu mengislamkan iptek yang nonilsmi itu, berkat kecerdasan dan daya kreativitas tinggi yang dimotivasi oleh ajaran Al-Qur’an serta daya selektivitas terhadap jenis-jenis iptek dari luar, sehingga bentuk-bentuk iptek yang membahayakan aqidah keimanan, ditinggalkan oleh mereka, seperti dalam bidang filsafat yang bersifat hedonistik dan epikuristik (yang menekankan kenikmatan hidup dari nafsu-nafsu rendah) dan bidang kesustraan yang penuh dengan khayal dan kesedihan (tragedy). Karena islam mengajarkan kehidupan yang penuh optimisme, rahmat dan berkat dari Tuhan bukan mengumbar nafsu-nafsu rendah, dan sikap pesimisme serta melankolisme, maka mereka mengembangkan pola pikirnya dalam ilmu kalam yang secara filosofis menganalisis tentang kehidupan eskatologis dan metafis di mana Tuhan menjadi penentu yang final.
Pada akhirnya strategi pendidikan islam dalam mengantisipasi kemajuan iptek modern, adalah terletak pada kemampuan mengkonfigurasikan sistem nilai islami yag akomidatif terhadap aspirasi umat islam uttuk berpacu dalam kompetensi bidang iptek di satu pihak, dan di lain pihak kemampuan psikologis serta pedagogis yang berdaya kreatif untuk mentransfer iptek modern itu sendiri. Inilah program minimal pendidikan islam yang perlu kita rencanakan dan laksanakan saat ini. [3]
J.       Problematika yang terjadi pada anak dalam memahami pelajaran
1.      Faktor otak, yang meliputi:
-          Kurang cerdas
-          Terjadinya lemah ingatan dan buyarnya konsentrasi
2.      Faktor emosi
-          Lemahnya kepercayaan pada dirinya sendiri
-          Lemah keiginan dan malas
-          Membenci pelajarab tertentu
-          Membenci guru tertentu
3.      Faktor yang berkaitan dengan anggota badan
-          Tertimpa anemia atau penyakit yang lain
-          Adanya kelemahan pada panca indera tertentu
4.      Faktor lingkungan
-          Banyaknya murid yang pindah dari sekolah ke sekolah yang lain
-          Banyaknya tempat bermain yang menggoda dirinya di luar sekolah
-          Adanya tuntutan orang tua yang berlebihan
-          Kurang mampu mengatur waktu
-          Kondisi rumah yang kurang kondisional untuk belajardan adanya perhatian yang kurang terhadap anak. [4]
K.     Pendidikan Islam Di Indonesia : Pesantren, Madrasah, dan Sekolah
Kajian tentang perbandingan madrasah, pondok pesantren, dan sekolah sebgai tiga bentuk pendidikan yang terbesar di Indonesia khususnya terkait implementasi pendidikan agama islam bukan sebuah hal baru. Diskusi tentang itu, sebagaimana diketahui secara jamak telah ada utamanya sejak pemerintah indonesia meresmikan madrasah melalui SKB Tiga Menteri Tahun 1975 sebagai lembaga pendidikan yang diakui sebagaimana sekolah umum.  Lalu pada akhir-akhir inipun pesantren sebagai corak pendidikan asli milik masyarakat indonesia pasca disahkan Undang-undang Sisdiknas NO 20 Tahun 2003, juga telah mendapat tempat yang sejajar dengan lembaga pendidikan lainnya di mata pemerintah. Meskipun keberadaan pesantren murni kebanyakan di mata pemerintah diletakan pada jalur pendidikan nonformal. Oleh sebab itu, wajar bila setelahnya terjadi penilaian, perbandingan dan pembaharuan terhadap ketiga bentuk pendidikan tersebut.
Apabila menengok pada keadaan sebelum lahirnya Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, sesungguhnya posisi pesantren diasingkan dan terdeskriminasi dari sistem pendidikan nasional. Pada waktu itu pesantren dipandang bukanlah sebagai lembaga pendidikan yang pantas untuk disandingkan dengan lembaga sekolah umum. Meski demikian, peran pesantren dalam pembangunan bangsa indonesia sangat besar, utamanya dalam mendidik moral anak bangsa yang sebagian besar dari kalangan miskin dan termarjinalkan. Yakni, dari kalangan masyarakat yang tidak terserap oleh lembaga pendidikan formal yang kala itu cenderung mahal dan sekuler. Salah satu perannya adalah meningkatkan keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia.
Adapun dari sudut perbandingan istilahnya antara madrasah dengan pondok pesantren tidak memiliki perbedaan. Artinya, keduannya sama-sama sebagai lembaga pendidikan yang ciri utamanya adalah untuk mendalami dan mengamalkan nilai-nilai islam. Perbedaan keduannya ada pada tujuan holistis, bahwa awal berdirinya madrasah di indonesia ditengarai banyak keinginan untuk mengadakan pembaruan sistem pendidikan islam yang lama yaitu, psantren. Sesungguhnya pesantren secara formal diposisikan ke dalam jenis pendidikan keagamaan, sedangkan madrasah dan sekolah (MI/SD, SMP/MTS, MA/SMA) diposisikan sebagi jenis pendidikan umum, serta (MAK/SMK) masuk dalam jenis pendidikan kejuruan. Dari situ dapat dikatakan bahwa pesantren hanya memfokuskan diri pada pembelajaran keagamaan islam. Sedangkan madrasah selain mempelajari ilmu keagamaan juga mempelajari ilmu umum.
1.      Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Dalam kamus besar bahasa indonesian kata pesantren  berasal dari kata dasar “santri”, sehingga bisa menjadi pesantrian atau yang lebih dikenal dengan pesantren. Di mana kata pesantren berarti asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji atau bisa diartikan sebagai pondok. Sedangkan, kata pondok punya arti pertama bangunan untuk tempat sementara seperti yang didirikan di lading, di hutan, kedua, rumah (sebutan untuk merendahkan diri), ketiga, bangunan tempat tinggal yang berpetak-petak dan berbindinding balik dan beratap rumbai (tempat tinggal beberapa keluarga), empat, madrasah dan asrama (tempat mengaji, belajar agama islam).
Pesantren merupakan lembaga yang tumbuh dari bawah, yaitu karena dikehendaki dan dibangun oleh masyarakat bahkan oleh perangkat pemerintahan desa. Namun demikian, peran kiai sebagai sosok utama dalam pendirian dan pengembanganya sangat dominan. Bisa dikatakan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan islam yang paling otonom. Artinya, lembaga yang tidak bisa di intervensi dari sudut pandang apapun oleh pihak-pihak luar kecuali atas izin Kiai. Dari sini dapat dilihat bahwa Kiai merupakan sosok pemimpin yang menentukan kebijakan secara mutlak, sebagai pusat kurikulum, dan sebagai “pemilik” pondok pesantren. Bisa dikatakan, pesantren “murni” merupakan bentuk pendidikan islam yang paling orosinil dan berwibawa karena terjaga atau meminilisir pengaruh-pengaruh eksternal.
Menurut Zamakhsary Dhofir pendidikan pesantren harus berdiri di atas lima pilar penyangga, yaitu pondok (asrama), masjid, santri (siswa), kitab kuning (pengajaran kitab islam klasik), kyai (guru). [5]Asrama atau dikenal dengan istilah pondok adalah sebuah tempat pendidikan islam tradisional dimana santri atau siswa tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang guru atau sering dikenal dengan sebutan kyai. Masjid merupakan tempat yang paling sentral dalam pesantren atau menjadi pusat kegiatan. Santri dibedakan menjadi dua macam, yaitu santri mukim dan santri kalong. Kitab-kitab yang diajarkan di pesantren pada umumnya dapat dikelompokan menjadi delapan, yaitu al-Nahwu dan al-sarf, al-fiqh, usul al-fiqh, al-hadith, al-tafsir, al-tauhid, al-tasawuf dan cabang-cabang yang lain seperti al-tarikh, al-balaghah dan sebagainya.[6] Dan kyai atau pengasuh pondok pesantren merupakan elemen yang sangat esensial bagi suatu pesantren. Rata-rata pesantren yang berkembang di jawa dan Madura, sosok kyai begitu sangat berpengaruh, karismatik, berwibawa, sehingga amat disegani oleh santri dan masyarakat di lingkungan pesantrennya. [7]
2.      Madrasah
Madrasah adalah sekolah atau perguruan yang didasarkan pada agama islam. Sedangkan, jenjangnya ada madrasah ibtidaiyah yaitu sekolah agama islam tingkat dasar (SD), madrasah tsanawiyah yaitu sekolah agama islam tingkat menengah (SMP), madrasah Aliyah yaitu sekolah agama islam tingkat atas (SMA),. Sesungguhnya, istilah madrasah bukanlah asli dari Indonesia, tapi muncul pertama kali pada abad X atau XI Masehi di ataimur Tengah. Dalam konteks Indonesia, pendirian madrasah merupakan fenomena modernisasi pendidikan islam di Indonesia. Salah satu upayannya adalah pengembangan system pendidikan tradisional islam yang awalnya diadakan di Masjid, langgar, dan pesantren tanpa batas waktu dan batas usia peserta didiknya dikembangkan menjadi system klasikal. Yakni, terdapat penjenjangan, penggunaan fasilitas bangku serta papan tulis, hingga memasukan materi pengetahuan umum dalam kurikulumnya. Bisa dikatakan, dalam konteks keindonesiaan penggunaan istilah madrasah dimaksudkan untuk membedakan antara lembaga pendidikan islam modern dengan lembaga pendidikan islam tradisional maupun pendidikan sekolah ala Belanda yang cenderung sekuler.
Dapat disimpulkan madrasah adalah lembaga pendidikan yang diakui secara hokum yang orientasi utamnya untuk mengadakan pembaharuan pendidikan islam. Baik dari segi keilmuwan, manajemen, system pembelajaran, dan pasca terbitnya SKB 3 Menteri 1975 yaitu untuk memenuhi formalitas (ijazah, memakai seragam, terdapat manajemen professional dll). Dengan maksud generasi umat islam yang mampu menguasai ilmu pengetahuan agama sekaligus ilmu pengetahuan umum secara seimbang. Madrasah juga bisa dimaksudkan sebagai bentuk eksistensi sekaligus identitas kultur keagamaan umat islam dalam dunia pendidikan modern.
3.      Sekolah
Kata sekolah salah satunya memiliki arti bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran. Sedangkan secara khusus sekolah agama diartikan sebagai sekolah yang memberikan pendidikan dalam bidang keagamaan. Sekolah bukanlah produk system pendidikan asli nusantara. Ia merupakan warisan dan hasil reproduksi dari kolonialisme belanda. Tidak seperti halnya pesantren yang secara kultur merupakan asli Indonesia. Paling tidak pesantren lahir di Indonesia dengan kesahajaannya, tanpa kepentingan duniawi dan menyatu dengan kultur pribumi. Sedangkan madrasah adalah hasil pengembangan yang berasal dari sinergitas antara bentuk pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah. Oleh karena itu, pada konteks masa kini dalam upaya melakukan program pembudayaan religious berbasis islam di sekolah umum oleh pendidik PAI perlu strategi yang cerdas dan lebih rumit dari pada lembaga pendidikan berciri khas islam. [8]

BAB III
HASIL OBSERVASI
A.    Profil Sekolah
1.      Formal
Nama Sekolah             : SD N 1 Kracak
Alamat                                    : Kracak, Kec. Ajibarang
Nama Kepala Sekolah : Wanto Tirta, S.Pd.
Nama Guru PAI          : Tri Nur Hayati, S. Pd. I
Hari/Tanggal               : 3 April 2017
Waktu                         : 07.30-selasai
2.      Non Formal
Nama Lembaga                 : Pondok Pesantren Al-Huda Pulasari
Alamat                              : Pulasari Kracak, Kec. Ajibarang
Nama Ustad                      : Makhrus Syaeani, S. Pd.
Hari/Tanggal                     : 22 April 2017
Waktu                               : 12.30-selasai
B.     Cara Pengumpulan Data
Wawancara
Dalam pengumpulan data, saya menggunakan metode wawancara dengan guru PAI disekolah tersebut sehingga mempermudah saya dalam pengambilan data-data yang saya perlukan.
C.    Hasil Wawancara
1.      Formal\
-          Problematika dalam pendidikan islam di SD
1)      Latar belakang siswa yang berbeda-beda sehingga menimbulkan masalah. Misalnya terkait pembacaan Qunut dalam sholat subuh. Karena perbedaan itulah ada beberapa wali murid yang memprotes akan penggunaan Qunut tesebut, padahal dari pihak guru membolehkan dan juga tidak melarang penggunaan Qunut dalam shalat subuh. Dan penggunaan Kabiro serta Bangid dalam bacaan shalat.
2)      Kebiasaan pengajaran murid, yang belum sesuai dengan pengajaran yang benar, sebagaimana pada Baca Tulis Al-Qur’an baik lafal maupun tulisan. Hal ini menyebabkan guru mengalami kesulitan dalam melakukan perbaikan. Misalnya dalam surat An-Nas yang seharusnya di baca ملك  tetapi dibaca ما لك .
3)      Orang tua yang terlalu fanatik terhadap faham agama yang dianutnya, tidak memberikan kebebasan terhadap guru dalam mengajarkan pendidikan agama islam.
-          Cara yang tepat dalam mengatasi problem yang tersebut diatas?
1)      Melakukan pendekatan individual, pertama-tama guru melakukan pendekatan dimana peran guru disini sebagai teman, dengan mendekati kemudian perbaiki.
2)      Melakukan pengulangan secara terus-menerus, sebagaimana apabila ketidak sesuaian dalam awal pengajaran karena kebiasaan dengan pengulangan dengan pengajaran yang sesuai itu akan menjadi solusi yang tepat.
-          Cara menanamkan pendidikan islam yang baik bagi peserta didik
1)      Menjadi pribadi dan contoh yang baik, sebagaimana Rasulullah mengajarkan kepada para umatnya. Dengan mencontohkan perkataan-perkataan yang baik, kemudian di ikuti dengan perbuatan yang baik.
2)      Menanamkan nialai-nilai yang Rasulullah ajarkan, seperti suka menolong, berbagi dan ramah.
3)      Menggunakan bahasa yang baik dan santun, karena bahasa yang baik menandakan pribadi yang baik sebagaimana yang diajarkan agama. “Jadilah pribadi yang baik dan santun”
-          Pengaruh IPTEK terhadap pendidikan islam
1)      Dapak Positifnya adalah ketika IPTEK itu digunakan dalam hal yang baik, seperti memudahkan dalam pembelajaran ketika guru akan menyampaikan materi-materi yang memang dicontohkan seperti halnya menggunakan video, gambar atau yang lain. Pembelajaran yang berlangsungpun akan lebih menyenangkan karena pastinya bervariasi. Pendidikan islam pun tidak hanya dapat kita lihat dalam indonesia saja namun juga sampai seluruh dunia, bagaimana perkembanganya sebagai evaluasi bagi kita pendidik dan tenaga kependidikan menanggapi perkembangan pendidikan islam dunia.
2)      Dampak Negativnya adalah ketika IPTEK itu sendiri salah dalam mempergunakannya, sebagaimana peserta didik hanya menggunakannya untuk bermain, untuk mengunduh hal-hal yang negativ seperti bokep dan yang lainnya. Dan mengurangi perhatian guru terhadap murid karena lebih memperhatikan hal-hal yang berada di media sosial dalam pembelajaran. Apabila belajar dari internet yang tidak tau siapa gurunya apa sanadnya dan bagaimana pedomannya ajaran itu akan membawa kepada keburukan.
-          Menyikapi pengaruh IPTEK dalam pendidikan islam
1)      Tetap berpegang teguh kepada Al-Qur’an, Al-Hadist, Ijma dan Kias
2)      Memperkuat dan mendalami pengetahuan-pengetahuan agama secara rinci dan jelas
3)      Tetap mengikuti perkembanganya, serta mengontrol dalam setiap hal pemakaianya.
4)      Memberikan nasehat tentang IPTEK terhadap murid agar mampu menggunakannya sebijak mungkin dan tidak mengunduh hal-hal yang tidak baik.
-          Tujuan dan manfaat pendidikan agama islam di SD
1)      Mengenalkan kepada peserta didik tentang ketauhidan, syariat, akidah, ibadah dan hal-hal yang berkaitan dengan agama islam
2)      Menanamkan akhlak yang baik (akhlakul karimah) sesuai dengan al-Qur’an
3)      Mengarahkan peserta didik agar agama menjadi perilaku kita sehari-hari
4)      Mengetahui hal yang dilarang dan dipebolehkan dalam agama dan pedoman dalam bertingkah laku
2.      Non Formal
-          Problematika pendidikan islam dalam pondok pesantren
1)      Dalam pesantren ini ada beberapa hal yang menjadi problematikanya antara lain adalah kurangnya tenaga pengajar
2)      Keterbatasan  waktu sehingga menyulitkan guru menyalurkan ke ilmuwannya secara mendalam, karena santri yang mengaji semuanya adalah santri kalong
3)      Kemudian dari rumah santri itu sendiri, karena ini berkaitan dengan tingkat motivasi santri yang terkadang ada rasa malas mengaji dikarenakan rumah yang cukup jauh.
-          Peran Pondok Pesantren bagi pendidikan islam
1)      Mencerdaskan generasi melalui pengamalan, pembiasaan ibadah, dan ilmu-ilmu agama yang lainnya dimana ilmu tersebut akan dibutuhkan di masa depan dalam kehidupan bermasyarakat.
2)      Sarana pembangunan dan pengembangan keagamaan santri namun selain itu juga masyarakat sekitarnya, melalui pengajaran-pengajaran ilmu keagamaanya.
3)      Mendidik santri-santri dengan berbagai kitab kuning, menghafal al-Qur’an, mendidik berdisiplin ilmu, serta penanaman moral etik.
-          Pesantren menyikapi perkembangan IPTEK
1)      Memberikan pegangan yang kuat dengan ilmu-ilmu agama, yang nantinya akan menjadi pengontrol dalam segala hal termasuk IPTEK yang terus berpengaruh
2)      Menyelipkan nasihat-nasihat agar kita mampu mengendalikan IPTEK itu sendiri, dengan kita memakainya secara bijaksana.

BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Dari teori-teori dan hasil observasi di atas memperlihatkan bahwasanya masih banyak problematika-problematika yang dirasakan dalam pendidikan islam, baik itu dalam lembaga formal seperti SD/MI dan lembaga nonformal seperti pondok pesantren. Sebagaimana di atas, problematika-problematika itu terjadi dikarenakan perkembangan zaman dan IPTEK yang sangat berpengaruh dalam pendidikan termasuk dalam pendidikan islam itu sendiri. Disinilah peran sekolah atau madrasah serta pesantren sangat di harapkan mampu menjadi pengendali atau pengontrol dalam perkembangan zaman yang nantinya akan semakin maju. Dan juga pendidikan baik formal ataupun nonformal inilah yang diharapkan menjadi solusi disetiap problematika-problematika yang terjadi di dunia khususnya di indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, A. Rifqi. 2015. Pengembangan Pendidikan Agama Islam. (Yogyakarta: PT LKis Printing Cemerlang).
Arifin, Muzayyin . 2003. Kapita Selekta Pendidikan Islam. (Jakarta: PT Bumi Aksara).
Dhofier, Zamakhyri. 2011.  Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. (Jakarta: LP3ES).
Masjkur, Anhari. 2007. Integrasi Sekolah Ke Dalam System Pendidikan Pesantren. (Surabaya: Diartama).
Sanaky, Hujair AH. 2003. Paradigma Pendidikan Islam Membangun Masyarakat Madani Indonesia. (Yogyakarta: Safiria Insania Press).
Sulaiman, Abu Amr Ahmad . 2006. Metode Pendidikan Anak Muslim 6 S/D 9 tahun. (Jakarta: Darul Haq) 120.
Yasmadi. 2005. Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholish Majid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, Cet. 2. (Jakarta: Quantum Teaching).



[1] Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), hlm. 5.
[2] Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam Membangun Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), hlm. 138-167.
[3] Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam… hlm. 10-50.
[4] Abu Amr Ahmad Sulaiman, Metode Pendidikan Anak Muslim 6 S/D 9 tahun, (Jakarta: Darul Haq, 2006), hlm. 118-120.
[5] Zamakhyri Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES,2011), hlm. 79
[6] Anhari Masjkur, Integrasi Sekolah Ke Dalam System Pendidikan Pesantren, (Surabaya: Diartama, 2007), hlm. 19.
[7] Yasmadi, Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholish Majid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, Cet.2, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), hlm. 66.
[8] A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam, (Yogyakarta: PT LKis Printing Cemerlang, 2015), hlm. 187-201.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar